Sabtu, 19 Desember 2009

Perbedaan Peradilan Tata Usaha Negara


A. PERBEDAAN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA


Hukum acara pengadilan tata usaha Negara merupakan hukum acara yang secara bersama-sama diatur dengan hukum materiilnya didalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1986.
Ada beberapa ciri khusus yang membedakan antara Pengadilan Tata Usaha Negara dengan Pengadilan lainnya, yaitu:
  • Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas untuk mencari kebenaran materiil
  • Adanya ketidak seimbangan antara kedudukan Penggugat dan Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara).
Dengan mengingat hal ini maka perlu diatur adanya kompensasi, karena diasumsikan bahwa kedudukan Penggugat (orang atau badan hukum perdata), adalah dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku pemegang kekuasaan publik.
  • Sistem pembuktian yang mengarah kepada pembuktian bebas.
  • Gugatan di Pengadilan tidak mutlak bersifat menunda pelaksanaan Keputusan tata Usaha Negara yang digugat.
  • Putusan hakim tidak boleh melebihi tuntutan Penggugat, tetapi dimungkinkan membawa Penggugat ke dalam keadaan yang lebih buruk sepanjang hal ini diatur dalam Undang-undang.
  • Putusan hakim tidak hanya berlaku bagi para pihak yang bersengketa, tetapi juga berlaku bagi pihak-pihak yang terkait.
  • Para pihak yang terlibat dalam sengketa harus didengar penjelasannya sebelum hakim membuat putusannya.
  • Dalam mengajukan gugatan harus ada kepentingan dari sang Penggugat.
  • Kebenaran yang dicapai adalah kebenaran materiil enggan tujuan menyelaraskan, menyerasikan, menyeimbangkan kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum.

B. PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:

I. Melalui Upaya Administrasi (vide pasal 48 jo pasal 51 ayat 3 UU no. 5 tahun 1986)
Upaya administrasi adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan tata Usaha Negara, dalam lingkungan administrasi atau pemerintah sendiri.
Bentuk upaya administrasi:
  1. Banding Administratif, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan.
  2. Keberatan, yaitu penyelesaian upaya administrasi yang dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan itu.
II. Melalui Gugatan (vide pasal 1 angka 5 jo pasal 53 UU no. 5 tahun 1986)
Apabila di dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku tidak ada kewajiban untuk menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara tersebut melalui Upaya Administrasi, maka seseorang atau Badan Hukum Perdata tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 pihak, yaitu:

  • Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan tata Usaha Negara oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara baik di pusat atau di daerah.
  • Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.

HAK PENGGUGAT:
  1. Mengajukan gugatan tertulis kepada PTUN terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara. (pasal 53)
  2. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
  3. Mengajukan kepada Ketua Pengadilan untuk bersengketa cuma-cuma (pasal 60)
  4. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65).
  5. Mengajukan permohonan agar pelaksanaan keputusan TUN itu ditunda selama pemeriksaan sengketa TUN sedang berjalan, sampai ada putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 67).
  6. Mengubah alasan yang mendasari gugatannya hanya sampai dengan replik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan tergugat (pasal 75 ayat 1)
  7. Mencabut jawaban sebelum tergugat memberikan jawaban (pasal 76 ayat 1)
  8. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
  9. Membuat atau menyuruh membuat salinan atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri setelah memperoleh izin Ketua Pengadilan yang bersangkutan (pasal 82)
  10. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan(pasal 97 ayat 1)
  11. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan kepada Pengadilan supaya pemeriksaan sengketa dipercepat dalam hal terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak yang harus dapat disimpulkan dari alasan-alasan permohonannya (pasal 98 ayat 1)
  12. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan ganti rugi (pasal 120)
  13. Mencantumkan dalam gugatannya permohonan rehabilitasi (pasal 121)
  14. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
  15. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepadapihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
  16. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
  17. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)
KEWAJIBAN PENGGUGAT:
Membayar uang muka biaya perkara (pasal 59)

HAK TERGUGAT:
  1. Didampingi oleh seorang atau beberapa orang kuasa (pasal 57)
  2. Mendapat panggilan secara sah (pasal 65)
  3. Mengubah alasan yang mendasari jawabannya hanya sampai dengan duplik asal disertai alasan yang cukup serta tidak merugikan kepentingan penggugat (pasal 75 ayat 2)
  4. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan, pencabutan gugatan oleh penggugat akan dikabulkan oleh pengadilan hanya apabila disetujui tergugat (pasal 76 ayat 2)
  5. Mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersangkutan di kepaniteraan dan membuat kutipan seperlunya (pasal 81)
  6. Mengemukakan pendapat yang terakhir berupa kesimpulan pada saat pemeriksaan sengketa sudah diselesaikan (pasal 97 ayat 1)
  7. Bermusyawarah dalam ruangan tertutup untuk mempertimbangkan segala sesuatu guna putusan sengketa tersebut (pasal 97 ayat 2)
  8. Mengajukan permohonan pemeriksaan banding secara tertulis kepada Pengadilan Tinggi TUN dalam tenggang waktu empat belas hari setelah putusan Pengadilan TUN diberitahukannya secara sah (pasal 122)
  9. Menyerahkan memori banding dan atau kontra memori banding serta surat keterangan bukti kepada Panitera Pengadilan TUN dengan ketentuan bahwa salinan memori banding dan atau kontra memori banding diberikan kepada pihak lainnya dengan perantara Panitera Pengadilan (pasal 126 ayat 3)
  10. Mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi secara tertulis kepada MA atas suatu putusan tingkat terakhir Pengadilan (pasal 131)
  11. Mengajukan permohonan pemeriksaan peninjauan kembali kepada MA atas suatu putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (pasal 132)

KEWAJIBAN TERGUGAT:

  1. Dalam hal gugatan dikabulkan, badan/pejabat TUN yang mengeluarkan Keputusan TUN wajib (pasal 97 ayat 9) : a. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan; atau b. Mencabut Keputusan TUN yang bersangkutan dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru; c. Menerbitkan Keputusan TUN dalam hal gugatan didasarkan pada pasal 3.
  2. Apabila tidak dapat atau tidak dapat dengan sempurna melaksanakan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap disebabkan oleh berubahnya keadaan yang terjadi setelah putusan Pengadilan dijatuhkan dan atau memperoleh kekuatan hukum tetap, ia wajib memberitahukannya kepada Ketua Pengadilan dan penggugat (pasal117 ayat 1).
  3. Memberikan ganti rugi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan ganti rugi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 120)
  4. Memberikan rehabilitasi dalam hal gugatan penggugat atas permohonan rehabilitasi dikabulkan oleh Pengadilan (pasal 121)

PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN

PEMANGGILAN PIHAK-PIHAK:

Pada Pengadilan Tata Usaha Negara, pemanggilan pihak-pihak yang bersengketa dilakukan secara administrative yaitu dengan surat tercatat yang dikirim oleh panitera pengadilan.

Pemanggilan tersebut mempunyai aturan sebagai berikut:
  • Panggilan terhadap pihak yang bersangkutan dianggap sah apabila masing-masing telah menerima surat panggilan yang dikirim dengan surat tercatat.(pasal 65 UU No 5 tahun 1986)
  • Jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 hari kecuali dalam hal sengketa tersebut harus diperiksa dengan acara (pasal 64 UU No 5 tahun 1986)

KEWAJIBAN HAKIM:
  1. Mengadakan pemeriksaan persiapan untuk melengkapi gugatan yang kurang jelas (pasal 63)
  2. Menjaga supaya tata tertib dalam persidangan tetap ditaati setiap orang dan perintahnya dilaksanakan dengan baik (pasal 68).
  3. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan salah seorang hakim anggota atau panitera (pasal 78 ayat 1)
  4. Mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah, atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat atau penasehat hukum (pasal 78ayat 2)
  5. Mengundurkan diri apabila ia berkepentingan langsung atau tidak langsung atas suatu sengketa (pasal 79 ayat 1)
  6. Menanyakan identitas saksi-saksi (pasal 87 ayat 2)
  7. Membacakan Putusan Pengadilan dalam sidang terbuka untuk umum (pasal 108 ayat 1)

PIHAK KETIGA:
  1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh Pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa Hakim dapat masuk dalam sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai: pihak yang membela haknya; atau peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa (pasal 83)
  2. Apabila pihak ketiga yang belum pernah ikut serta atau diikut sertakan selama waktu pemeriksaan sengketa yang bersangkutan, pihak ketiga tersebut berhak mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan tersebut kepada Pengadilan yang mengadili sengketa tersebut pada tingkat pertama (pasal 118 ayat 1)


RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI ADR DALAM PERKARA PIDANA

A. Pendahuluan

Restorative justice berawal dari negara-negara yangn menggunakan bahasa inggris seperti Australia, New Zeeland Dll, dengan tetap menyebut restorative adalah suatu jenis keadilan dalan ajaran keadilan. Restorative justice sebagai konsep pemidanaan bermaksud menemukan jalan pada sistem pemidanaan yang lebih adil dan berimbang antara kepentingan pelaku dan korban. Sistem pemidanaan yang berlaku sekarang ini dirasakan kurang adil dan tidak merumuskan pada konsep pendidikan tujuan dari pemidanaan.
Di Indoesia restorative justice sudah mulai dikenalkan dan diterapkan dalam perkara-perkara tertentu yang mudah dalam hal pembuktiannya. Restorative justice di Indonesia dalam perkembangannya kini telah menjadi communis opinion doctorun yang artinya sistem pemidanaan dalam hukum pidana yang telah dijalankan selama ini belum berhasil mencapai tujuan, baik bagi pelaku maupun masyarakat pada umumnya karenanya perlu ada suatu pemikiran teoritis dengan mengadopsi hukum acara lain dalam hal ini model Alternative Dispute Resulution (ADR) sebagai konsep penyelesaian yang lebih cepat dan sederhana tanpa harus mencederai nilai-nilai keadilan.
Dalam hukum pidana tujuan pemidanaan yang kita kenal selama ini hanyalah bertujuan untuk mengembalikan pelaku menjadi warga negara yang baik dan bertanggungjawab, begitu banyak pelaku pidana kambuhan (residivist) yang kemungkinan secara statistikal antara pelaku kambuhan dengan non kambuhan.
Bagi korban sistem pemidanaan yang berlaku sekarang tidak memberi perlindungan atas segala derita dan kerugian akibat perbuatan pidana, baik dalam arti korban langsung maupun keluarga korban suami/isteri anak ataupun orangtua misalnya cacat karena penganiyayaan ataupun meninggal dunia.
Bagi penulis dengan tetap banyaknya pelaku pidana menunjukan pemidanaan sebagai instrumen represif melindungi dan menjaga keamanan umum pemidanaan tersebut haruslah dapat menjadikan efek penjera bahkan dikalangan masyarakat untuk menimbulkan efek penjera tersebut sering meminta agar terdakwa di hukum mati atau masyarakat mengadili sendiri (eigenrichting) kalau demikian terjadi dimana letak kesalahannya masyarakat ataukah sistem hukumnya yang tidak berfungsi.
Memperhatikan perkembangan ilmu hukum pidana (straf-rechts) dan berbagai macam aturan baru telah banyak pemikiran-pemikiran mengenai pemidanaan dan pemasyarakatan seperti diadakannya pranata pidana percobaan, pidana kerja sosial dan pidana bersyarat.


B.Peradilan Pidana.

Dalam proses peradilan perkara Pidana yang berupaya maksimal untuk menemukan dan mewujudkan kebenaran materiil, sering muncul keluhan ketidakadilan dari pihak yang berkepentingan (stakeholder).Proses mengadili dalam perkara pidana merupakan proses interaksi nalar hukum dan batin untuk mencapai puncak kearifan dalam memutus suatu perkara.Putusan Pengadilan dalam perkara pidana harus di dasarkan atas fakta-fakta yang sah muncul dalam persidangan dan meyakinkan hakim yang memutus perkara berdasarkan penalaran hukum/legal reasoning tetap saja masih tidak dapat memberikan rasa keadilan bagi salah satu pihak yang tidak bisa menerima putusan tersebut.
Restoraktive justice bertujuan untuk merestorasi (membangun kembali) ekuilibrium metafisik kehidupan korban, masyarakat dan juga pelaku kejahatan, keseimbangan spiritual koimunitas (stakeholder) dan korban perlu dipulihkan agar gairah hidup berpendar kembali dalam upaya membangun peradabannya.Begitu juga pelaku kejahatan perlu diberi ruang kontemplasi untuk menyadari dan bertobat demi pemulihan jiwa dan kesadaran sosialnya.
Secara koseptual restorative justice mengandung gagasan-gagasan antara lain membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban dan kelompok masyarakat dalam menyelesaikan suatu tindak pidana yang dipandang adil bagi semua pihak (win-win solution).
Mekanisme konsep restroative justice ada dua yang perlu diperhatikan yaitu momentum saat sebelum memasuki proses peradilan dan forum dalam persidangan pengadilan.Sebelum proses peradilan berjalan dimaksudkan pada saat perkara tersebut di tangan kepolisian atau kejaksaan baik atas inisiatif sendiri pelaku dan korban atau keluarga korban atau pelaku dilakukan upaya perdamaian memalui konsep ADR namun tidak menghilangkan perbuatan pidananya sehingga pada saat perkara dilimpahkan kepengadilan hakim dapat menganjurkan penyelesaian menurut cara-cara restorative justice sebagai ADR dalam perkara pidana menjadi bahan pertimbangan hakim terhadap hal-hal yang dapat meringankan terdakwa dalam penjatuhan putusan.
Terlepas dari aspek positif restorative justice sebagai ADR dalam perkara pidana hanya dapat diterapkan pada pelaku yang benar-benar pasti diketahui pelakunya dan keluarga korban mau memaafkan perbuatan pelaku. (admin/agsrj)